Di masa sekarang banyak sekali manfaat-manfaat dari
batubara, oleh karena itu banyak juga orang-orang yang mencari batubara untuk
dimanfaatkan, makanya didaerah saya banyak sekali perusahaan-perusahaan
batubara.
Pada kesmpatan ini saya ingin memberi tahu macam-macam
manfaat dari batubara tapi kali ini saya hanya menjelaskan salah satunya saja
yaitu tentang pemanfaatan batubara muda untuk pembangkit listrik.
Indonesia adalah termasuk negara dengan sumber tambang batu
bara terbesar di dunia. Cadangannya diperkirakan 36,3 milyar ton. Hanya saja
50-85 persennya berkualitas rendah. Ini dilihat dari nilai kalori pembakarannya
yang rendah, dan kadar sulfur serta airnya yang tergolong tinggi. Karena itu,
batu bara muda yang disebut juga batu bara lignit atau batu bara cokelat tidak
ekonomis dimanfaatkan sebagai bahan bakar.Bila sumber energi ini dibawa ke
lokasi yang jauh dari areal tambang, maka biaya transportasinya menjadi mahal.
Karena ongkos angkut itu sebenarnya dikeluarkan untuk membawa air dan abu yang
nantinya harus dibuang dalam proses pemanfaatan batu bara.
Ketika dibakar, banyak energi yang terbuang untuk menguapkan
air, sedangkan nilai kalori yang diperoleh relatif rendah. Selain itu,
kandungan sulfur yang tinggi akan menjadi gas pencemar. Karenanya diperlukan
biaya tambahan untuk mengurangi emisi gas sulfur.
Dengan adanya masalah tersebut, bila terdapat lapisan batu
bara lignit dalam penambangan batu bara, maka penambang hanya mengambil lapisan
yang berkualitas tinggi. Sedangkan batu bara lignit akan disingkirkan atau
ditimbun kembali di lokasi tambang.
Pemanfaatan lignit
Belakangan ini, dengan dihapusnya subsidi BBM (bahan bakar
minyak) yang melambungkan harga BBM di Indonesia, batu bara mulai dilirik.
bahan bakar ini lebih murah dibandingkan BBM. Bila menggunakan solar atau
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), harga listrik mencapai Rp 500 per kWh.
Dengan batu bara, biaya pembangkitan hanya sekitar Rp 50 per kWH. Dengan
demikan akan menghemat biaya kurang lebih Rp 30 milyar per tahun.
Namun, untuk menggunakan batu bara-dalam hal ini batu bara
muda sebagai bahan bakar pembangkit-perlu ada pendekatan khusus, masalahnya
karena ada faktor kendala, yaitu kandungan air dan sulfur yang tinggi.
Solusi yang diambil adalah membangun instalasi pembangkit
dekat daerah pertambangan batu bara, sehingga biaya transportasi minimal.
Selain itu juga dikembangkan teknis proses pembakaran batu bara muda yang dapat
mereduksi gas sulfur ke udara sehingga pencemaran gas ini pun dapat ditekan.
Pemanfaatan lignit ini sebagai bahan bakar pembangkit
listrik di mulut tambang, sebenarnya pernah dirintis pada tahun 1997 oleh BPPT
beker ja sama dengan HRL (Herman Research Laboratory) Technology Pty Ltd
Australia, PT Bukit Asam, Departemen Pertambangan dan Energi, serta PT PLN.
Namun menurut penjelasan Bambang Gambiro, Direktur Teknologi Pengembangan
Sumber Daya Energi BPPT, kepada Kompas akhir Juli lalu, proyek itu terhenti
pada tahun 1998 karena krisis ekonomi.
Padahal menurut rencana akan dilakukan uji coba penggunaan
batu bara muda dari Tanjung Enim Sumatera Selatan dan beberapa tempat di
Indonesia, menggunakan sistem proses IDGCC (Integrated Drying Gasification
Combine Cycle). Pengembangan teknologi IDGCC ini sendiri di Australia, telah
dimulai sejak tahun 1990.
Dasar prosesnya pada pengeringan dan gasifikasi batu bara
untuk digunakan pada turbin gas siklus ganda. Karena menggunakan siklus
pembakaran ganda, efisiensi konversi energi dengan teknologi IDGCC dapat
dinaikkan dari 29 persen menjadi 42 persen. Hasil penelitian dan evaluasi
ekonominya menunjukkan, teknologi itu layak dan ekonomis.
Pembangkit listrik 10 MW yang menggunakan sistem IDGCC di
Morwell Victoria mampu memproses 240 ton batu bara muda per hari. Riset yang
dilakukan HRL antara lain bertujuan mengurangi biaya pembangkitan dan emisi gas
CO2 yang dikeluarkan pembangkit listrik batu bara muda.
PLTU Berau
Upaya pemanfaatan batu bara mulai dirintis lagi tahun 2002.
Kali ini akan dicoba menggunakan batu bara muda di Berau, Kalimantan Timur.
Peletakan batu pertama pembangunan PLTU Mulut Tambang ini telah dilakukan
Menristek Hatta Rajasa, Bupati Berau H Masdjuni, Dirut PT Berau Coal Jeffry
Mulyono
upaya pemenuhan kebutuhan listrik bagi masyarakat daerah ini
telah diprogram cukup lama oleh Pemda Kabupaten Berau. Selama ini energi
listrik yang dipasok PT PLN (Persero) Ranting Tanjung Redep menggunakan PLTD
telah maksimal memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.
Ini terlihat dari daya pembangkitan yang mampu dihasilkan
PLTD sekitar 5,6 MW sedangkan beban puncaknya telah mencapai 5,4 MW.
“Akibatnya, PLN terpaksa melakukan pemadaman secara bergilir bila terjadi
kerusakan mesin,” ungkapnya. Sementara itu, permintaan penyambungan listrik
sebesar 9,6 juta kWh namun yang terpenuhi baru 7,9 juta kWh. Masih kurang
sekitar 1,6 juta kWh.
PLTU Berau merupakan upaya pemanfaatan potensi batu bara
muda yang melimpah dan mengurangi pemakaian solar. Dengan demikian juga akan
menggantikan fungsi diesel yang biaya operasinya mahal. Proyek ini juga sebagai
pilot project bagi daerah lainnya yang kaya dengan batu bara kalori rendah.
Tambang batu bara PT Berau Coal saat ini menggunakan daya
sebesar 3,3 MW dengan produksi batu bara sekitar 6 juta ton per tahun. Sekarang
ini kebutuhan daya listrik PT Berau Coal dipasok sendiri dari PLTD milik PT
Berau Coal dengan bahan bakar solar.
selain Berau beberapa kabupaten di Kalimantan Timur telah
menandatangani MoU untuk pembangunan fasilitas yang sama yaitu dengan Sangata,
Malinau, dan Tanjung Redeb. Sedangkan Kabupaten Pasir juga telah menyatakan
keinginannya.
PLTU Mulut Tambang ini lokasinya berada di Desa Sambakungan,
Kecamatan Gunung Tabur yang dikenal dengan nama daerah Lati itu dibangun atas
kerja sama antara PT Indonesia Power, Pemda Kabupaten Berau, PT Berau Coal, dan
BPPT. Proyek ini rencananya akan selesai pembangunannya pada bulan
Agustus-September 2003, dan beroperasi secara komersial pada akhir tahun 2003.
PLTU berkapasitas 2×6 MW tersebut, jelas Kepala Unit
Pelaksana Teknis Laboratorium Sumber Daya Energi BPPT Agus Rusjana Hoetman, –
yang mendesain pabrik tersebut- menggunakan sistem modul sehingga
pembangunannya bisa menghemat biaya sekitar 30 persen. Biaya pembangunannya
sekitar 10,5 juta dollar AS.
Instalasi pembangkit ini terdiri dari dua boiler stoker yang
mampu membakar batu bara buangan dari berbagai peringkat tanpa menimbulkan
masalah dalam pencapaian efisiensi dan memenuhi persyaratan lingkungan.
Desulfurisasi
Meskipun menggunakan batu bara dengan kandungan sulfur
tinggi sekitar 1.7 – 3 persen, namun pembangkit listrik ini dilengkapi dengan
peralatan desulfurisasi sehingga diharapkan kadar SO2 yang dihasilkan tidak
lebih dari 750 ppm sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup. Demikian juga
dengan efek pencemaran lainnya.
Instalasi PLTU pengoperasiannya dengan kendali jarak jauh
dari ruang kontrol menggunakan sistem kontrol berbasis microprocessor. Sedang
penyaluran kepada masyarakat dilakukan dengan menggunakan sistem
pendistribusian yang sudah ada, yaitu distribusi 20 kV, mengikuti jalur
substation Lati ke substation Sambaliung yang melewati area di sekitar proyek.
Bahan baku batu bara akan diangkut dari tambang Lati yang
dimiliki PT Berau Coal dengan menggunakan dump truk dari area penumpukan batu
bara buangan (reject) di tambang Lati ke PLTU yang berjarak sekitar 2
kilometer. Luas areal tambang batu bara di Berau seluas 15.600 hektar, yang
berada di Binungen, Lati, Punan, dan Kelai. Di Lati sendiri kawasan
penambangannya seluas 6.984 hektar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
> Berkomentarlah dengan sopan dan bijak sesuai dengan isi konten.
> Komentar yang tidak diperlukan oleh pembaca lain [spam] akan segera dihapus.